Minggu, 18 November 2012

Penyakit Diabetes


PENYAKIT DIABETES MELITUS

A.    Definisi

       Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah. Glukosa dibentuk di hati dari makanan yang dikonsumsi.Insulin,yaitu suatu hormon yang diproduksi pankreas,mengendalikan kadar flukosa dalam darah dengan mengatur produksi dan penyimpanannya.

        Pada diabetes,kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap insulin dapat menurun,atau pankreas dapaat menghentikan sama sekali produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketonik( HHNK). Hiperglikemia jangka panjang dapat ikut menyebabkan komplikasi mikrovaskuler yang kronis(penyakit ginjal dan mata) dan komplikasi neuropati(penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan peningkatan insidens penyakit makrovaskuler yang mencakup infark miokard,stoke dan penyakit vaskuler perifer.
B.     Tipe Diabetes
     Ada beberapa tipe penyakit diabetes melitus yang berbeda;penyakit ini dibedakan berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya.  Klasifikasi diabetes yang utama adalah:
·         Tipe I : Diabetes melitus tergntung insulin(insulin-dependent diabetes mellitus [IDDM])
·         Tipe II : Diabetes melitus tidak tergantung insulin(non-insulin-dependent diabetes mellitus[NIDDM])
·         Diabetes melitus yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom lainnya.
·         Diabetes melitus gestasional (gestasional diabetes melitus [GDM]).

Kurang lebih 5% hingga 10% penderita mengalamidiabetes tipe I,yaitu diabetes yang tergantung insulin.pada diabetes jenis ini,sel-sel beta pankreas yang dalam keadaan normal menghasilkan hormon insulin dihancurkan oleh suatu proses otoimun. Sebagai akibatnya,penyuntikan insulin diperlukan untuk mengendalikan kadar glikosa darah.Diabetes tipe I ditandai oleh awitan mendadak yang biasanya terjadi pada usia 30 tahun.
Kurang-lebih 90% hingga 95% penderita mengalami diabetes tipe II,yaitu diabetes yaitu diabetes yang tidak tergantung insulin. Diabetes tipe II terjadi akibat penurunan sensivitas terhadap insulin (yang disebut resistansi insulin) atau akibat penurunan jumlah produksi insulin. Diabetes tipe II, pada mulanya diatasi dengan diet dan latihan. Jika kenaikan glukosa darah tetap terjadi,terapi diet dan latihan tersebut dilengkapi dengan obat hipoglikemik oral. Pada sebagian penyandang diabetes tipe II,obat oral tidak mengendalikan keadaan hiperglikemia sehingga diperlukan penyuntikan insulin. Di samping itu,sebagian penyandang diabetes tipe II yang dapat mengendalikan penyakit diabetesnya dengan diet,latihan dan obat hipoglikemiaoral mungkin memerlukan penyuntikan insulin dalam periode stres fisiologik akut(seperti sakit atau pembedahan). Diabetes tipe II paling sering ditemukan pada individu yang berusia lebih dari 30 tahun dan obesitas.
Komplikasi diabetes dapat terjadi pada setiap individu dengan tipe diabetes tipe I atau tipe II dan bukan hanya pada pasien yang memerlukan insulin. Sebagian penyandang diabetes tipe II yang mendapat terapi obat oral mempunyai kesan bahwa mereka tidak sungguh-sungguh menderita diabetes atau hanya memiliki diabetes”boderline”. Penyandang diabetes ini mungkin beranggapan bahwa penyakit diabetes yang mereka derita bukanlah suatu masalah “serius” jika dibandingkan dengan pasien diabetes yang memerlukan penyuntikan insulin. Di sini perawat mempunyai tugas enting untuk menekankan kepada orang-orang tersebut bahwa mereka sesungguhnya menderita diabetes dan bukan sekedar diabetes “ borderline” yang berhubungan dengan masalah toleransi gula(TGT= toleransi glukosa terganggu),dan merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah berada diantara kadar normal dan kadar yang dianggap sebagai tanda diagnostik untuk penyakit diabetes.
C.     Epidemiologi
Diabetes melitus merupakan penyakit kronis yang menyerang kurang lebih 12 juta orang. Tujuh dari 12 juta penderita diabetes tersebut sudah terdiagnosis;sisanya tidak terdiagnosis. Di Amerika Serikat ,kurang lebih  650.000 kasus diabetes baru di diagnosis setiap tahunnya ( Healthy People 2000,1990).
Diabetes terutama prevalen di antara kaum lanjut usia. Di antara individu yang berusia 65 tahun,  8,6% menderita diabetes tipe II. Angka ini mencakup 15% populasi pada panti lansia. Di Amerika Serikat,diabetes merupakan penyebab utama kebutaan yang baru di antara penduduk berusia 25 hingga 74 tahun dan juga menjadi penyebab utama amputasi di luar trauma kecelakaan. Tiga puluh persen pasien yang mulai mendapatkan terapi dialisis setiap yahun menderita penyakit diabetes. Diabetes berada dalam urutan ketiga penyebab utama kematian akibat penyakit dan hali ini sebagian besar disebabkan oleh angka penyakit koroner yang tinggi pada para penderita diabetes.
Beban ekonomi untuk diabetes terus meningkat akibat besarnya biaya medis dan bertambahnya populasi lansia. Beban biaya yang berhubungan langsung dengan penyakit diabetes diperkirakan paling sedikit 20 juta US$  per tahun, yang mencakup pengeluaran biaya medis langsung dan biaya tidak langsung yang berhubungan dengan ketidakmampuan serta kematian dini. Angka rawat inap bagi penderita diabetes adalah 2,4 kali lebih besar pada orang dewasa dan 5,3 kali lebih besar pada anak-anak bila dibandingkan dengan populasi umum. Separuh dari keseluruhan penderita diabetes yang berusia lebih dari 65 tahun dirawat di rumah sakit setiap tahunnya. Komplikasi yang serius dapat membawa kematian sering turut menyebabkan peningkatan angka rawat inap bagi para penderita diabetes.
D.    Tinjauan Fisiologi Normal
Insulin disekresikan oleh sel-sel beta yanag merupakan salah satu dari empat tipe sel dalam pulau-pulau Langerhans pankreas. Insulin merupakan hormon anabolik atau hormon untuk menyimpan kalori (storage hormone). Apabila seseorang makan makanan,sekresi insulin akan meningkat dan menggerakkan glukosa ke dalam sel-sel otot,hati,serta lemak. Dalam sel-sel tertentu , insulin menimbulkan efek berikut ini :
·         Menstimulasi penimpanan glukosa dalam hati dan otot( dalam bentuk glikogen)
·         Meningkatkan penyimpanan lemak dari makanan dalam jaringan adiposa
·         Mempercepat pengangkutan asam-asam amino(yang berasal dari protein makanan) ke dalam sel
Insulin juga menghambat pemecahan glukosa ,protein dan lemak yang disimpan.
Selama masa “puasa” ( antara jam-jam makan dan pada saaat tidur malam), pannkreas akan melepaskan secara terus menerus  sejumlah insulin bersama dengan hormon pankreas lain yang disebut glukagon ( hormon ini disekresikan oleh alfa pulau Langerhans). Insulin dan glukagon secara bersama-sama mempertahankan kadar glukosa yang konstan dalam darah dengan menstimulasi pelepasan glukosa dari hati.
Pada mulanya, hati menghasilkan glukosa melalui pemecahan gliogen (glikogenensis). Setelah 8 hingga 12 jam tanpa makanan,hati membentuk glukosa dari pemecahan zat-zat selain karbohidrat yang mencakup asam amino (glukoneogenesis).

Sumber Pustaka
Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner & Suddart Edisi 8,Vol.2, Suzanne C. Smeltzer


Pemasangan Traksi dan Gips


Traksi  adalah tahanan yang dipakai dengan berat atau alat lain untuk menangani kerusakan atau gangguan pada tulang dan otot.
Traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan untuk meminimalkan spame otot, untuk mereduksi, mensjajarkan, dan mengimubilisasi fraktur; untuk mengurangi deformitas, dan untuk menambah ruangan di antara kedua permukaan patahan tulang. Traksi harus diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk mendapatkan efek terapeutik. Faktor-faktor yang mengganggu keefektifan tarikan traksi harus dihilangkan.
Kadang, traksi harus dipasang dengan arah yang lebih dari satu untuk mendapatkan garis tarikan yang diinginkan. Dengan cara ini, bagian garis tarikan yang pertama  berkontraksi terhadap garis tarikan lainnya. Garis-garis tarikan tersebut dikenal sebagai vektor gaya. Resultanta gaya tarikan yang sebenarnya terletak di tempat di antar kedua garis tarikan tersebut. Efek traksi yang dipasang harus dievaluasi dengan sinar-X, dan mungkin diperlukan penyesuaian. Bila otot dan jaringan lunak sudah rileks, berat yang digunakan harus diganti untuk memperoleh gaya tarikan yang diinginkan.
2.1.1.      Jenis-jenis Traksi
Traksi lurus atau langsung memberikan gaya tarikan dalam satu garis luru dengan bagian tubuh berbaring di tempat tidur. Traksi ekstensi Buck dan traksi pelvis merupakan contoh traksi lurus.
Traksi suspensi seimbang (gambar 2.1.1) memberi dukungan pada ekstremitas yang sakit di atas tempat tidur sehingga memungkinkan mobilisasi pasien sampai batas tertentu tanpa terputusnya garis tarikan.
Traksi dapat dilakukan pada kulit (traksi kulit) atau langsung ke skelet tubuh (traksi skelet). Cara pemasangan ditentukan oleh tujuan traksi.
Traksi dapat dipasang dengan tangan (traksi manual). Ini merupakan traksi yang sangat sementara yang bisa digunakan pada saat pemasnagan gips, memberikan perawatan kulit dibawa boot busa ekstensi Buck, atau saat menyesuaikan  dan mengatur alat traksi.
A.    Traksi kulit 
Traksi kulit menggunakan plaster lebar yang direkatkan pada kulit dan diperkuat dengan perban elastis. Berat maksimum yang dapat diberikan adalah 5 kg yang merupakan batas toleransi kulit.

Jenis-jenis traksi kulit.
Beberapa jenis traksi kulit, yaitu : 
§  Traksi ekstensi dari Buck adalah traksi kulit dimana plaster melekat secara sederhana dengan memakai katrol.
§  Traksi dari Dunlop, dipergunakan pada fraktur suprakondiler humeri anak-anak.
§  Traksi dari Gallow atau traksi dari Brayant, dipergunakan pada fraktur femur anak-anak usia di bawah 2 tahun .
§  Traksi dari Hamilton Russel, digunakan pada anak-anak usia lebih dari 2 tahun.
I Indikasi
Indikasi penggunaan traksi kulit adalah:
 
  •   Traksi kulit merupakan terapi pilihan pada fraktur femur dan beberapa fraktur suprakondiler humeri anak-anak.
  •   Pada reduksi tertutup dimana manipulasi dan imobilisasi tidak dapat dilakukan.
  •   Merupakan pengobatan sementara pada fraktur sambil menunggu terapi definitif.
  •   Fraktur-fraktur yang sangat bengkak dan tidak stabil misalnya fraktur suprakondiler humeri pada anak-anak.
  •   Untuktraksi pada spasme otot atau pada kontraktur sendi misalnya sendi lutut dari panggul.
  • Untuk traksi pada kelainan-kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus pulposus (HNP) atau spasme otot-otot tulang belakang.
Komplikasi :
  • Komplikasi yang dapat terjadi pada traksi kulit.
  • Penyakit trombo emboli.
  • Abersi, infeksi serta alergi pada kulit. 
Traksi pada tulang 
Traksi pada tulang biasanya menggunakan kawat Krischner ( K-wire) atau batang dari Steinmann lokasi-lokasi tertentu,yaitu :
  •  Proksimal tibia.
  •   Kondilus femur.
  •   Olekranon.
  •   Kalkaneus (jarang dilakukan karena komplikasinya).
  •   Traksi pada tengkorak.
  •   Trokanter mayor.
  •   Bagian distal metakarpal.






Jenis-jenis traksi tulang
§  Traksi tulang dengan menggunakan kerangka dari Bohler Braun pada fraktur orang dewasa
§  Thomas splint dengan pegangan lutut atau alat traksi dari Pearson
§  Traksi tulang pada olekranon, pada fraktur humerus
§  Traksi yang digunakan pada tulang tengkorak misalnya Gradner Well Skull Calipers, Crutchfield cranial tong

Indikasi penggunaan traksi tulang : 
§  Apabila diperlukan traksi yang lebih berat dari 5 kg.
§  Traksi pada anak-anak yang lebih besar.
§  Pada fraktur yang bersifat tidak stabil, oblik atau komunitif.
§  Fraktur-faktur tertentu pada daerah sendi.
§  Fraktur terbuka dengan luka yang sangat jelek dimana fiksasi eksterna tidak dapat dilakukan.
§  Dipergunakan sebagai traksi langsung pada traksi yang sangat berat misalnya dislokasi panggul yang lama sebagai persiapan terapi definitif. 
Komplikasi traksi tulang :
§  Infeksi, misalnya infekis melalui kawat/pin yang digunakan.
§  Kegagalan penyambungan tulang (nonunion) akibat traksi yang berlebihan.
§  Luka akibat tekanan misalnya Thomas splint pada tuberositas tibia.
§  Parese saraf akibat traksi yang berlebihan (overtraksi) atau bila pin mengenai saraf.
2.1.2.      Prinsip Traksi Efektif
Pada setiap pemasangan traksi, harus dipikirakan adanya kontratraksi. Kontratraksi adalah gaya yang bekerja dengan arah yang berlawanan. (Hukum Newton yang ketiga mengenai gerak, menyebutkan bahwa bila ada aksi maka akan terjadi reaksi dengan besar yang sama namun arahnya berlawanan). Umumnya berat badan pasien dan pengaturan posisi tempat tidur mampu memberikan kontratraksi.
§  Kontratraksi harus dipertahankan agar traksi tetap efektif.
Traksi harus berkesinambungan agar reduksi dan imobilisasi  fraktu efektif. Traksi kulit pelvis dan serviks sering digunakan untuk mengurangi spasme otot dan biasanya diberikan sebagai traksi intermiten.
§  Traksi skelet tidak boleh terputus.
§  Pemberat tidak boleh diambil kecuali bila traksi dimaksudkan intermiten.
Setiap faktor yang dapat mengurangi tarikan atau mengubah garis resultanta tarikan harus dihilangkan.
§  Tubuh pasien harus dalam keadaan sejajar dengan pusat tempat tidur ketika traksi dipasang.
§  Tali tidak boleh macet.
§  Pemberat harus tergantung bebas dan tidak boleh terletak pada tempat tidur atau lantai.
§  Simpul pada tali atau telapak kaki tidak boleh menyentuh katrol atau kaki tempat tidur.
2.1.3.      Mekanisme Traksi
Mekanisme traksi meliputi tidak hanya dorongan traksi sebenarnya tetapi juga tahanan yang dikenal sebagai kontratraksi, dorongan pada arah yang berlawanan, diperlukan untuk keefektifan traksi, kontratraksi mencegah pasien dari jatuh dalam arah dorongan traksi. Tanpa hal itu, spasme otot tidak dapat menjadi lebih baik dan semua keuntungan traksi hanya menjadi lewat saja ada dua tipe dari mekanik untuk traksi, dimana menggunakan kontratraksi dalam dua cara yang berbeda. Yang pertama dikenal dengan traksi keseim-bangan, juga dikenal sebagai traksi luncur atau berlari. Di sini traksi diaplikasikan melalui kulit pasien atau dengan metode skeletal. Berat dan katrol digunakan untuk mengaplikasikan tahanan langsung sementara berat tubuh pasien dalam kombinasi dengan elevasi dari dorongan tempat tidur traksi untuk menyediakan kontratraksi (Taylor, 1987 Styrcula, 1994a; Dave, 1995 and Osmond, 1999). Traksi Buck akan menjadi contoh dari hal ini. Yang kedua dinamakan traksi fixed dan kontratraksi dimasukkan di antara 2 point cocok yang tidak membutuhkan berat atau elevasi tempat tidur untuk mencapai traksi dan kontratraksi. Splint Thomas merupakan contoh dari sistem traksi ini (Taylor, 1987, Styrcula 1994a; Dave, 1995 and Osmond, 199).
Komponen mekanis dari sistem traksi, katrol (pulley), tahanan vector dan friksi, terkait dengan beberapa faktor : cara dimana kontratraksi diaplikasikan dan sudut, arah, serta jumlah tahanan traksi yang diaplikasikan (Taylor, 1987 : 3). Sudut dan arah dorongan traksi bergantung pada posisi katrol dan jumlah efek katrol sama dengan jumlah dorongan yang diaplikasikan. Etika dua katrol segaris pada berat traksi yang sama maka disebut dengan ”Block and tackle effect” hampir menggandakan jumlah dari tahanan dorongan. Tahanan vector diciptakan dengan mengaplikasikan tahanan traksi pada dua yang berbeda tetapi tidak berlawanan terhadap sisi tubuh yang sama. Hasil ini menghasilkan tahanan ganda untuk dorongan traksi yang actual (Taylor, 1987 and Styrcula, 1994a).
Friksi selalu ada dalam setiap sistem traksi. Friksi memberikan resistansi terhadap dorongan traksi malah mengurangi tahanan traksi. Hal ini diperlukan untuk meminimalisir kapanpun dan bagaimanapun kemungkinan nantinya (Taylor, 1987 and Styrcula, 1994a).
Kita dapat menggunakan traksi : (1) untuk mendorong tulang fraktur ke dalam tempat memulai, atau (2) untuk menjaga mereka immobile sedang hingga mereka bersatu, atau (3) untuk melakukan kedua hal tersebut, satunya diikuti dengan yang lain. Untuk mengaplikasikan traksi dengan sempurna, kita harus menemukan jalan untuk mendapatkan tulang pasien yang fraktur dengan anam, untuk beberapa minggu jika diperlukan. Ada dua cara untuk melakukan hal tersebut : (1) memberi pengikat ke kulit (traksi kulit; (2) dapat menggunakan Steinmann pin, a Denham pin, atau Kirschner wire melalui tulangnya (traksi tulang). Tali kemudian digunakan untuk mengikat pengikatnya, pin atau wire ditaruh melalui katrol, dan dicocokkan dengan berat. Berat tersebut dapat mendorong pasien keluar dari tempat tidurnya, sehingga kita biasanya membutuhkan traksi yang berlawanan dengan meninggikan kaki dari tempat tidurnya. Salah satu dari tujuan utama dari traksi adalah memperbolehkan pasien untuk melatih ototnya dan menggerakkan sendinya, jadi pastikan bahwa pasien melakukan hal ini. Traksi membutuhkan waktu untuk diaplikasikan dan diatur, tetapi hal ini dapat dengan mudah diatur dengan asisten.

2.2.    GIPS  
2.2.1.      Pemasangan GIPS (plaster of Paris) 
Gips merupakan suatu bahan kimia yang pada saat ini tersedia dalam lembaran dengan komposisi kimia (CaSO4)2 H2O + 3 H2O = 2 (SaSO42H2O) dan bersifat anhidrasi yang dapat mengikat air sehingga membuat kalsium sulfat hidrat menjadi solid/keras. Pada saat ini sudah tersedia gips yang sangat ringan.
Pemasangan gips merupakan salah satu pengobatan konservatif pilihan (terutama pada fraktur) dan dapat dipergunakan di daerah terpencil dengan hasil yang cukup baik bila cara pemasangan, indikasi, kontraindikasi serta perawatan setelah pemasangan diketahui dengan baik.
2.2.2.      Bentuk-bentuk Pemasangan GIPS
Beberapa bentuk pemasangan gips yang dapat dilakukan adalah :
1.      Bentuk lembaran sehingga gips menutup separuh atau dua pertiga lingkaran permukaan anggota gerak.
2.      Gips lembaran yang dipasang pada kedua sisi antero-posterior anggota gerak sehingga merupakan gips yang hampir melingkar.
3.      Gip sirkuler yang dipasang lengkap meliputi seluruh anggota gerak.
4.      Gips yang ditopang dengan besi atau karet dan dapat dipakai untuk menumpu atau berjalan pada patah tulang anggota gerak bawah





2.2.3.      Indikasi  
Indikasi pemasangan gips adalah : 
1.      Untuk pertolongan pertama pada faktur (berfungsi sebagai bidal).
2.      Imobilisasi sementara untuk mengistirahatkan dan mengurangi nyeri misalnya gips korset pada tuberkulosis tulang belakang atau pasca operasi seperti operasi pada skoliosis tulang belakang.
3.      Sebagai pengobatan definitif untuk imobilisasi fraktur terutama pada anak-anak dan fraktur tertentu pada orang dewasa.
4.      Mengoreksi deformitas pada kelainan bawaan misalnya pada talipes ekuinovarus kongenital atau pada deformitas sendi lutut oleh karena berbagai sebab.
5.      Imobilisasi untuk mencegah fraktur patologis.
6.      Imobilisasi untuk memberikan kesempatan bagi tulang untuk menyatu setelah suatu operasi misalnya pada artrodesis.
7.      Imobilisas setelah operasi pada tendo-tendo tertentu misalnya setelah operasi tendo Achilles.
8.      Dapat dimanfaatkan sebagai cetakan untuk pembuatan bidai atau protesa.
2.2.4.      Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemasangan gips adalah :
1.      Gips yang pas tidak akan menimbulkan perlukaan.
2.      Gips patah tidak bisa digunakan.
3.      Gips yang terlalu kecil atau terlalu longgar sangat membahayakan klien.
4.      Jangan merusak atau menekan gips.
5.      Jangan pernah memasukkan benda asing ke dalam gips/ menggaruk.
6.      Jangan meletakkan gips lebih rendah dari tubuh terlalu lama.
2.2.5.      Kelebihan  
Kelebihan pemakaian gips adalah :
1.      Mudah didapatkan.
2.      Mura dan mudah dipergunakan oleh setiap dokter.
3.      Dapat diganti setiap saat.
4.      Dapat dipasang dan dibuat cetakan sesuai bentuk anggota gerak.
5.      Dapat dibuat jendela/lubang pada gips untuk membuka jahitan atau perawatan luka selama imobiliasi.
6.      Koreksi secara bertahap jaringan lunak dapat dilakukan membuat sudut tertentu.
7.      Gips bersifat rediolusen sehingga pemeriksaan foto rontgen tetap dapat dilakukan walaupun gips terpasang.
8.      Merupakan terapi konservatif pilihan untuk menghindari operasi.
2.2.6.      Kekurangan  
Di samping kelebihannya, terdapat pula beberapa kekurangan pemakaian gips yang perlu diperhatikan yaitu : 
1.      Pemasangan gips yang ketat akan memberikan gangguan atau tekanan pada pembuluh darah, saraf atau tulang itu sendiri.
2.      Pemasangan yang lama dapat menyebabkan kekakuan pada sendi dan mungkin dapat terjadi. 
a.       Disus osteoporosis dan atrofi.
b.      Alergi dan gatal-gatal akibat gips.
c.       Berat dan tidak nyaman dipakai oleh penderita.
2.2.7.      Perawatan Gips
Hal-hal yang perlu diperhatikan setelah pemasangan gips adalah : 
1.       Gips tidak boleh basah oleh air atau bahan lain yang mengakibatkan kerusakan gips.
2.       Setelah pemasangan gips harus dilakukan follow u yang teratur, tergantung dari lokalisasi pemasangan.
3.       Gips yang mengalami kerusakan atau lembek pada beberapa tempat, harus diperbaiki.

2.3.    Asuhan Keperawatan pada Traksi
2.3.1.      Pengkajian
1.      Status neurovascular
Misal  :           -           Warna 
                        -           Suhu
                        -           Pengisian kapiler
                        -           Kemampuan bergerak 
                        -           Edema
                        -           Denyut nadi
2.      Kulit 
Misal  :           -           Dekubitus 
                        -           Kerusakan jaringan kulit.
3.      Fungsi respirasi 
Misal  :           -           Frekuensi 
                        -           Reguler/irregular
4.      Fungsi gastrointestinal 
Misal  :           -           Konstipasi 
                        -           Dullness
5.      Fungsi perkemihan
Misal  :           -           Retensi urine
                        -           ISK
6.      Fungsi kardiovbaskuler
Misal  :           -           HR
                        -           TD
                        -           Perfusi ke daerah traksi.
                        -           Akral dingin.
7.      Status nutrisi 
Misal  :           -           Anoreksia.


2.3.2.      Diagnosa Keperawatan
1.      Gangguan rasa nyaman : nyeri berhubungan dengan traksi atau immobilisasi.
2.      Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan imobilisasi.
3.      Kurang  perawatan diri makan, hygiene, toileting, berhubungan dengan traksi.  
2.3.3.      Intervensi  
Dx. 1   :           1.         Kaji skala nyeri.
                                  2.         Bantu klien melakukan mobilisasi pada ekstremitas yang tidak ditraksi.
                                  3.         Anjurkan klien melakukan teknik distraksi dan relaksasi
                                  4.         Kolaborasi pemberian analgesic.
Dx. 2   :           1.         Kaji respon klien terhadap aktifitas.
                                  2.         Kaji TT setelah melakukan aktifitas.
                                  3.         Mengajarkan gerak aktif pasif.
                                  4.         Monitor tonus otot.
Dx. 3             :           1.         Bantu klien belajar memenuhi kebutuhan dirinya seperti makan, mandi, berpakaian dan toileting selama diimobilisasi dalam alat traksi. 
                                  2.         Bantu klien mengembangkan secara kreatif rutinitas yang akan memaksimalkan kemandirian pasien.
2.3.4.      Komplikasi yang dapat timbul :  
1.      Dekubitus.
2.      Kongesti paru/pneumonia.
3.      Konstipasi dan anoreksia.
4.      Stasis dan ISK.
5.      Trombosis vena profunda.
2.3.5.      Evaluasi  
Hasil yang diharapkan :
1.      Menunjukkan pemahaman program traksi. 
a.       Menjelaskan tujuan traksi.
b.      Berpartisipasi dalam rencana perawatan.
2.      Memperlihatkan berkurangnya ansietas.
a.       Tampak relaks.
b.      Menggunakan mekanisme koping efektif.
c.       Mengekspresikan keprihatinan dan perasaannya.
3.      Menyebutkan peningkatan tingkat kenyamanan. 
a.       Kadang-kadang meminta analgesia oral.
b.      Mengubah posisi sendiri sesering mungkin.
4.      Melakukan aktivitas perawatan diri 
-          Memerlukan sedikit bantuan pada saat makan, mandi, berpakaian, defekasi, dan urinasi.
5.      Menunjukkan mobilitas yang meningkat.
a.       Melakukan latihan yang dianjurkan.
b.      Menggunakan alat bantu dengan aman.
6.      Tidak memperlihatkan adanya komplikasi. 
a.       Kulit utuh.
b.      Paru-peru bersih.
c.       Tidak mengeluh nafas pendek.
d.      Batuk tidak produktif.
e.       Pola defekasi teratur.
f.       Nafs makan normal.
g.      Urine jernih, kuning, cair dengan jumlah  yang memadai.
h.      Tak menunjukkan tanda dan gejala trombosis vena profunda.

3.
DAFTAR PUSTAKA 

Gabriel. JF. dr. 1996. Fisika Kedokteran. Jakarta : EGC.

http://askep.askeb.blogspot.com.

Rasjad, Chairuddin, Prof. MD,PhD. 2003. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makassar : Binatang Lamumpatue.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart. Jakarta : EGC.

Traksi/Asuhan Keperawatan. Bingar’s Weblog.com.